Bencana Dahsyat Tanpa Keluarga? Bagaimana jadinya?
Pagi
itu tanggal 26 September 2019, semua nampak biasa saja. Aktivitas sekolah
berjalan lancar mulai dari bangun pagi hingga aku pergi sekolah. Sekolahku
adalah sekolah bersistem asrama yang di dalamnya terdapat kumpulan pelajar
terbaik se provinsiku kala itu. Semua serba kegiatan kami lakukan secara mandiri
mulai dari bangun tidur hingga kami tidur kembali.
Gempa bumi magnitudo 6,8 mengguncang Kota Ambon, Kairatu dan Pulau Haruku, Provinsi Maluku, Kamis (26/9/2019) pagi sekitar pukul 08.44 WIT. “Gempa tersebut dipicu sesar aktif,” kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Daryono melalui rilis yang diterima di Jakarta, Kamis. Berdasarkan hasil analisis BMKG, episenter gempa bumi terletak pada koordinat 3,43 LS dan 128,46 BT atau tepatnya berlokasi di darat pada jarak 15,3 kilometer (km) arah tenggara kota Kairatu atau pada jarak 42 km arah timur laut Kota Ambon, Provinsi Maluku pada kedalaman 10 km. Terjadi juga gempa bumi susulan pukul 9.39 WIT dengan magnitudo 5.6 SR pada kedalaman 10 km, berjarak 18 km timur laut Ambon, Maluku. Gempa bumi susulan masih terjadi sebanyak 17 kali dengan magnitudo < 5 SR mulai pukul 09.00 hingga 10.04 WIT. Berdasarkan lokasi dan kedalaman pusat gempa bumi, diperkirakan gempa bumi ini berasosiasi dengan patahan aktif disekitar pusat gempa bumi.
Kami semua akhirnya dikumpulkan ke lapangan asrama masing-masing dan diberikan pengarahan oleh para guru. Guru-guru kami mengatakan bahwa mereka tidak berani mengizinkan kami pulang karena takut akan gempa susulan saat di perjalanan. Ditambah lagi, kami pada saat itu sedang duduk di kelas 3 yakni kelas ujian sehingga proses belajar sebisa mungkin tetap berjalan. Hingga pada akhirnya, para guru memutuskan bahwa kami akan tetap tinggal di lingkungan sekolah namun tidak di asrama. Kami diarahkan untuk tidur di pelataran-pelataran kelas dan juga di dalam tenda-tenda. Dikarenakan tenda belum terbangun, semua guru dan anak laki-laki bergotong-royong dari sore hingga malam untuk membangun tenda-tenda.
Tiga bulan lebih kami lalui dengan
kebahagiaan walaupun ada di dalam kegelisahan akan gempa yang terus terjadi. Waktu
sore hari sering kami habiskan di lapangan asrama laki-laki untuk sekedar belajar
maupun bermain. Tidur dan belajar di lapangan bagi mereka bukan masalah karena
semua dilakukan bersama. Beban seakan berkurang dan tergantikan oleh semangat untuk
belajar demi masuk ke perguruan tinggi impian masing-masing. Semua teman saling
support dan seakan bencana gempa ini terlupakan walapun setiap harinya gempa
ini terus menggoncang tanah-tanah kami.
Tidak terasa sudah 3 tahun sudah berlalu
semenjak kejadian itu, banyak juga kenangan manis maupun pahit yang sudah dilalui
kala itu. Semoga suatu saat kami dapat bertemu lagi dan bercerita tentang kisah
masa lalu maupun kini.
Komentar
Posting Komentar