Bencana Dahsyat Tanpa Keluarga? Bagaimana jadinya?

 

        Pagi itu tanggal 26 September 2019, semua nampak biasa saja. Aktivitas sekolah berjalan lancar mulai dari bangun pagi hingga aku pergi sekolah. Sekolahku adalah sekolah bersistem asrama yang di dalamnya terdapat kumpulan pelajar terbaik se provinsiku kala itu. Semua serba kegiatan kami lakukan secara mandiri mulai dari bangun tidur hingga kami tidur kembali.


       Pukul 5 pagi kami bangun dan melakukan semua aktivitas seperti biasa hingga memasuki jam pelajaran pertama kami yaitu Bahasa Indonesia. Hingga waktu menunjukkan sekitar pukul 9, tiba-tiba terjadi goncangan ringan di kelas kami. Karena sudah sering terjadi gempa ringan, kami semua di dalam kelas bersikap tenang dan berpikir bahwa gempa ini akan berlalu seperti biasanya. Namun, gempa makin kuat, semua jendela serasa akan pecah dan lantai-lantai terjadi retakan. Skala ini merupakan skala gempa terkuat yang kurasakan selama hidup. Semua anak panik dan berhamburan keluar. Anak-anak laki-laki dengan sigap membopong guru kami keluar kelas dan membantu anak-anak perempuan yang terjatuh saat berlari. Semua berlari ke lapangan sambil menangis karena terlihat semua dinding kelas banyak yang retak dari kejauhan. Selain itu, kami semua takut akan terjadinya tsunami mengingat kota kami yang sangat dekat dan semuanya dikelilingi lautan bebas. Handphone mulanya dilarang dipakai di seolah dan dikumpulkan ke guru, langsung dibagikan kembali kepada para siswa. Namun apalah daya, koneksi hilang dan tidak bisa menghubungkan ke internet dikarenakan gempa hebat tadi. Banyak siswi menangis dan memohon untuk pulang ke rumah kepada guru.




Sumber : Official Account Twitter BMKG RI dan CNBC Indonesia

Gempa bumi magnitudo 6,8 mengguncang Kota Ambon, Kairatu dan Pulau Haruku, Provinsi Maluku, Kamis (26/9/2019) pagi sekitar pukul 08.44 WIT. “Gempa tersebut dipicu sesar aktif,” kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Daryono melalui rilis yang diterima di Jakarta, Kamis. Berdasarkan hasil analisis BMKG, episenter gempa bumi terletak pada koordinat 3,43 LS dan 128,46 BT atau tepatnya berlokasi di darat pada jarak 15,3 kilometer (km) arah tenggara kota Kairatu atau pada jarak 42 km arah timur laut Kota Ambon, Provinsi Maluku pada kedalaman 10 km. Terjadi juga gempa bumi susulan pukul 9.39 WIT dengan magnitudo 5.6 SR pada kedalaman 10 km, berjarak 18 km timur laut Ambon, Maluku. Gempa bumi susulan masih terjadi sebanyak 17 kali dengan magnitudo < 5 SR mulai pukul 09.00 hingga 10.04 WIT. Berdasarkan lokasi dan kedalaman pusat gempa bumi, diperkirakan gempa bumi ini berasosiasi dengan patahan aktif disekitar pusat gempa bumi.


          Kami semua akhirnya dikumpulkan ke lapangan asrama masing-masing dan diberikan pengarahan oleh para guru. Guru-guru kami mengatakan bahwa mereka tidak berani mengizinkan kami pulang karena takut akan gempa susulan saat di perjalanan. Ditambah lagi, kami pada saat itu sedang duduk di kelas 3 yakni kelas ujian sehingga proses belajar sebisa mungkin tetap berjalan. Hingga pada akhirnya, para guru memutuskan bahwa kami akan tetap tinggal di lingkungan sekolah namun tidak di asrama. Kami diarahkan untuk tidur di pelataran-pelataran kelas dan juga di dalam tenda-tenda. Dikarenakan tenda belum terbangun, semua guru dan anak laki-laki bergotong-royong dari sore hingga malam untuk membangun tenda-tenda.


          
            Khawatir, sedih dan haru bercampur menjadi satu kala itu. Melihat guru dan teman-teman yang dengan semangat dan ikhlas memebangun tenda untuk kami semua, membuat kami menjadi sangat bersyukur bersekolah di sini. Slogan sekolah kami “Satu untuk semua, semua untuk satu” sangat terasa pada saat itu. Selain itu, terlihat juga pemandangan teman-teman perempuan yang sibuk membawa kasur dan alat tidur mereka. Semua saling membantu antar teman maupun antar kakak dan adik kelas. Kasur yang berat pun terasa ringan karena dibawa bersama dengan penuh canda tawa. Tidur di pelataran dan tenda tanpa kehangatan keluarga, seharusnya menimbulkan kegelisahan dan kekhawatiran, namun semua itu seakan sirna digantikan oleh candaan dan cerita-cerita yang dilontarkan teman-teman di malam -malam yang hening itu.

        Tiga bulan lebih kami lalui dengan kebahagiaan walaupun ada di dalam kegelisahan akan gempa yang terus terjadi. Waktu sore hari sering kami habiskan di lapangan asrama laki-laki untuk sekedar belajar maupun bermain. Tidur dan belajar di lapangan bagi mereka bukan masalah karena semua dilakukan bersama. Beban seakan berkurang dan tergantikan oleh semangat untuk belajar demi masuk ke perguruan tinggi impian masing-masing. Semua teman saling support dan seakan bencana gempa ini terlupakan walapun setiap harinya gempa ini terus menggoncang tanah-tanah kami.

 

Tidak terasa sudah 3 tahun sudah berlalu semenjak kejadian itu, banyak juga kenangan manis maupun pahit yang sudah dilalui kala itu. Semoga suatu saat kami dapat bertemu lagi dan bercerita tentang kisah masa lalu maupun kini.       



Komentar