Apa kabar kondisi air dan sanitasi di Maluku?

 

Fasilitas sanitasi layak ialah fasilitas higienis yang memisahkan kotoran manusia dari manusia, hewan, dan kontak serangga sedangkan sumber air minum layak didefinisikan sebagai fasilitas air minum yang dilindungi darikontaminasi luar, khususnya kontaminasi dengan kotoran. Sumber air minum layak meliputi air ledeng, air pipa, sumur bor/pompa, sumur terlindung, mata air terlindung, pengumpulan air hujan, dan air minum kemasan. Pengguna air minum kemasan dianggap memiliki akses ke sumber air layak jika mereka memiliki sumber air mandi/cuci yang layak.

Sanitasi dan air minum merupakan dua hal penting dalam kehidupan manusia. Mengacu pada tujuan pembangunan berkelanjuntan atau SDG’s yang dicanangkan sebagai agenda 193 negara anggota PBB dan harus dituntaskan pada 2030, memastikan ketersediaan dan manajemen air bersih yang berkelanjutan dan sanitasi bagi semua. Sanitasi dan air minum yang tidak layak dan tidak mencukupi menyebabkan berbagai dampak kesehatan seperti penularan penyakit, kurang gizi, stunting, dampak pada tingkat pendidikan anak-anak, dampak pada gender dan sosial, hingga dampak pada kerugian ekonomi rumah tangga dan negara (BAPPENAS and UNICEF Indonesia, 2017; UNICEF-WHO, 2017).

Provinsi Maluku terbentuk dari gugus kepulauan yang terbesar di Indonesia yang terletak antara 30 Lintang Utara - 30 Lintang Selatan dan 1240 - 136 0 Bujur Timur. Provinsi Maluku terdiri dari sembilan kabupaten dan dua kota yang berbatasan langsung dengan laut. Beberapa pulau tersebut merupakan pemukiman yang harus dilayani oleh pemerintah. Berdasarkan Program 100-0-100 yang masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 3 tahun 2014-2019. Program 100-0-100 menuntut ketersediaan 100% air minum, 0% kawasan kumuh, dan 100% fasilitas sanitasi serta drainase di seluruh wilayah Indonesia. Menurut Dahlan, strategi pemerintah dalam mewujudkan program tersebut di Provinsi Maluku khususnya di Kota Ambon adalah pembangunan dan perbaikan drainase lingkungan, penyediaan air bersih, pengelolaan persampahan, prasarana pengelolaan air limbah, dan penguatan kapasitas masyarakat.

Berikut data mengenai kondisi eksisting air minum yang ada di Maluku:

 
 
Data BPS menunjukkan bahwa masyarakat Kota Tual dan Kota Ambon memiliki persentase penggunaan air isi ulang yang cukup tinggi yaitu 35,55% dan 39,56%. Masyarakat di daerah pantai menggunakan air isi ulang dan terkadang menggunakan air ledeng dari PDAM sebagai keperluan memasak dan minum. Tingkat pelayanan PDAM menentukan jumlah masyarakat yang menggunakan air PDAM. Provinsi Maluku terdapat tiga PDAM sehat, dua PDAM tidak sehat, dan satu PDAM sakit. PDAM Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku Tengah, dan Maluku Tenggara Barat merupakan PDAM yang masuk dalam kategori sehat. Penggunaan air ledeng oleh masyarakat tertinggi adalah di Kabupaten Maluku Tengah (23,2%) dan didukung oleh PDAM yang sudah dikategorikan PDAM sehat.

               Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa provinsi Maluku cukup memiliki air bersih di daerahnya, namun kita juga harus melihat dari sanitasinya yakni dilihat dari pengelolaan tinjanya. Berikut data pengelolaan tinja yang ada pada Maluku:

Rata-rata sudah 82,28% penduduk Provinsi Maluku sudah menggunakan tangki septik dan hanya 1,51% penduduk yang menyalurkan air limbah melalui sistem penyaluran air limbah (SPAL). Penduduk Kabupaten Maluku Tengah, Buru, Kepulauan Aru, dan Maluku Barat Daya berdasarkan penggunaan tanki septik dibawah rata-rata. Yang mengkhawatirkan adalah 48,5% penduduk Kabupaten Kepulauan Aru menyalurkan tinja langsung ke lingkungan. Seperti yang penelitian di Sungai Arbes di Kota Ambon menunjukkan tingginya pencemaran akibat limbah domestik yang dibuang langsung ke sungai tersebut dan akan menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat sekitar [23]. Selain gangguan kesehatan gangguan lingkungan seperti eutropikasi juga dapat disebabkan oleh pembuangan air limbah sembarangan ke badan air.


Komentar